Ummati….ummati…..
Rintihan seorang yang mulia yang hatinya amat lembut. Dalam nubuwwah Beliau SAW telah melihat kenyataan ini.....
Seorang
wanita duduk murung di sudut ruang tamunya. Lampu dimatikan. Di kamar,
sang suami terbaring gelisah. Tidak ada yang tertidur kecuali si kecil
yang nafasnya masih tersengal karena sakit. Ayah dan ibu sedang
bertengkar gara-gara saling menyalahkan, siapa yang seharusnya pulang
dari kantor saat Annisa dikabarkan sakit. Rita sang ibu, manajer sebuah
perusahaan asing yang bergengsi. Jabatan cukup tinggi dan prestasi karir
cemerlang. Agus, sang ayah hanya bisa menyumbang sepertiga dari
kebutuhan finansial rumahtangga, maklum, sebagai eselon tiga di
departemen yang ’kering’, tak banyak yang bisa diharapkan. Agus belum
bersedia melepas status PNS-nya dengan berbagai alasan. Namun ia juga
sibuk di kantor, karena ia sering diandalkan oleh bossnya yang malas dan
punya obyekan banyak. Buah hati mereka (Alhamdulillah) baru satu,
Annisa, dua tahun.
Problem keluarga masa kini: pertengkaran suami isteri karena konflik kepentingan antara karir dan rumahtangga.
Wahai
wanita, wahai ibu! Apa sih arti ’karir’? Dari katanya sendiri bisa kita
artikan secara bebas bahwa ia berarti sesuatu yang kita lakukan dengan
motivasi tinggi sehingga menghasilkan suatu ’karya’. Begitu ’kan?
Suatu
hari penulis diminta mengisi data diri yang pada salah satu kolomnya
terdapat: pekerjaan: pilihannya: a) Pegawai negeri b) swasta c) tidak
bekerja. Penulis tanyakan kepada petugasnya: Di mana tempat untuk
menuliskan karir saya sebagai ibu rumahtangga? Semua jawaban petugas itu
tak dapat memuaskan saya.
Seorang wanita yang mengurus
rumahtangganya, siang malam ia bekerja. Fullday! Nyaris 24 jam! Apakah
itu dikatakan TIDAK BEKERJA? Lebih menyakitkan lagi, ada yang
menggolongkan pekerjaan ini sebagai ”TIDAK PRODUKTIF”?!?
Apa hasil kerja seorang ibu rumahtangga?
Banyak
sekali, namun sayangnya tidak pernah diekspos dan diangkat ke dalam
diskusi besar-besaran. Tidak juga ada lembaga besar yang mau mengadakan
penelitian seputar hal ini. Sebaliknya, ada ribuan seminar tentang
wanita bekerja yang mempromosikan wanita untuk keluar rumah mengejar
karir kantoran. Bahkan di negeri ini sedang ada diskusi tentang perlunya
meningkatkan keterwakilan wanita di parlemen. That means: harus ada
lebih banyak lagi wanita yang berkarir politik di negeri yang pernah
punya presiden wanita ini.
Apakah wanita tidak boleh bekerja di luar rumah? Wah nanti dulu, di sini bukan porsinya untuk membicarakan fatwa.
Coba
kita tinjau dari sudut lain: apa alasan wanita bekerja di luar rumah.
Pertama ada alasan finansial, ini yang terbanyak. Kedua, alasan mencari
aktualisasi diri, ketiga, alasan jenuh di rumah, dan terakhir:
dibutuhkan di masyarakat. Untuk orang-orang tertentu, alasan terakhir
sangat kuat. Misalnya karir sebagai guru TK, hampir tak bisa ditemukan
guru TK yang pria, dan memang wajar, tidak cocok. Dokter wanita juga
termasuk yang sangat dibutuhkan di masyarakat. Alasannya sederhana,
wanita seringkali malu jika dokternya pria. Menjadi perawat juga
diperlukan. Bahkan di zaman Nabi SAW, para isteri beliau diundi
berangkat bersama Nabi SAW ke medan jihad untuk merawat yang sakit.
Dari empat alasan di atas, dua yang pertama adalah yang terbanyak.
Apakah
seorang wanita benar-benar perlu membantu mencari nafkah? Sangat
relatif. Jika suaminya masih bisa memenuhi sandang pangan dan papan
dengan standar cukup yang normal, maka kebutuhan tersebut tidak ada
lagi. Kita dapat memaklumi mbok-mbok jamu yang terpaksa keluar masuk
kampung dengan jamu gendongnya, sebab dalam hitungan kasat mata kita
dapat melihat bahwa kebutuhan rumahtangganya pasti tak mencukupi jika ia
tak berjualan. Masing-masing kita bisa menilai sendiri apakah standar
minimal tersebut sudah terpenuhi atau belum. Namun bagaimana dengan yang
beralasan ’aktualisasi diri’?
Istilahnya saja diambil dari
filsuf barat, Maslow. Jauh dari hidayah Islam. Namun lebih jauh lagi,
’aktualisasi diri’ sekarang diartikan sangat jauh kepada karir dengan
format materialisme. Seseorang tidak dikatakan sampai derajat mencapai
aktualisasi diri jika belum mendapatkan format kerja yang menghasilkan
karya materi. Apakah itu berupa penghasilan tinggi, atau prestasi
ilmiah, atau prestasi di bidang apa saja yang bisa masuk ke dalam
katagori pengakuan dari masyarakat. Jadi, jika ia hidup di masyarakat
yang sudah tidak lagi menghargai karya seorang ibu rumahtangga, maka ia
tak akan pernah mencapai aktualisasi diri. Meskipun semua anaknya sholeh
dan cerdas, rumahtangganya tak pernah meresahkan orang lain dan
sebagainya. Bahkan suaminya amat menghargai sang isteri karena
kontribusinya sebagai pasangan hidup terbaik.
Sebaliknya, seorang
wanita yang sukses karir dan merasa sudah mendapatkan kepuasan dan
aktualisasi diri, mungkin saja mempunyai kisah hidup memilukan,
anak-anaknya yang tak bisa menghargai dirinya, ketika sudah jompo iapun
terdampar di panti wredha. Konsep Maslow tentang aktualisasi diri itupun
masih belum ”sempurna”, sebab pengakuan yang dicarinya masih terbatas
pengakuan manusia. Siapakah manusia? Makhluk fana yang sering berbohong.
Islam menghendaki seseorang mencari pengakuan dari Pihak Yang Tak
Pernah Mengingkari Janji, apalagi berbohong. Ridha Allah adalah sukses
tertinggi yang bisa dicapai makhluk di hadapan Khalik. Imbalannya-pun
bukan milyaran dollar, tidak. Itu terlalu kecil, sebab Syurga diwariskan
kepada para hamba sholeh luasnya seluas langit dan bumi, masih ditambah
kelak dipuji puji oleh para malaikat mulia yang berbakti.
Suatu
saat Nabi SAW ditanya oleh seseorang: siapakah orang pertama yang harus
aku muliakan, ya Rasulullah? Jawab beliau: Ibumu (1x) ibumu (ke 2 x) dan
ibumu (ke 3 x), kemudian baru ayahmu.
Alangkah indahnya Islam, alangkah mulianya kedudukan wanita dalam Islam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar